Skip to main content

Ihsan Approachment; Sebaik-baiknya Bekal Generasi Z

                                                         Bekal Ihsan Untuk Generasi Masa Depan



          Anak adalah harta yang paling berharga, padanyalah keberlanjutan kehidupan manusia bermula. Demikian anggapan (sekaligus) harapan bagi sebagian besar orangtua. Ya, anak memang generasi yang di bahunya akan berlanjut proses kehidupan di muka bumi. Merekalah yang akan menggantikan posisi para pemimpin-pemimpin hari ini di kemudian hari. Karenanya, surah al-Baqarah/2: 30 merekam dengan sempurna bagaimana Allah menciptakan satu makhluk bernama manusia dan hendak menjadikan ia (Nabi Adam as) sebagai khalifah di muka bumi. Mandat yang sungguh spesial dan luar biasa, hingga membuat malaikat terlebih iblis bertanya-tanya, ‘mengapa Adam dan bukan saya? Saya lebih baik dari dia (Adam). Saya diciptakan dari api, dan dia dari tanah,’ demikian Iblis mengira hingga ia tak sudi bersujud pada sang manusia pertama.

        Proses penciptaan Adam as hingga ‘penentuan’ bahwa dia-lah yang akan dikirim ke muka bumi untuk hidup, tumbuh-berkembang hingga melahirkan banyak keturunan bukan tanpa alasan. Adam-lah yang diajarkan secara khusus mengenal ‘asma’ atau nama-nama benda karena ia perlu kemampuan verbal untuk bisa berkomunikasi. Komunikasi sebagai kebutuhan seluruh manusia untuk berinteraksi. Proses pengajaran kosa-kata ini pun akhirnya juga diemban oleh orangtua. Ayah, ibu dan keluarga terdekatlah menjadi ‘tempat pertama belajar’ anak. Proses mentransfer pengetahuan dasar (pengenalan kosa kata) inilah yang akan menjadi communication skill anak, karena dari pengenalan kosa kata dan kemampuan berbahasa-lah seorang anak mampu merangkai kata, mengekspresikan kebutuhan dirinya termasuk apa yang ia rasa.

       Begitu penting peranan orangtua sebagai ‘madrasah’ pertama anak bukan hanya pengembangan kemampuan berkomunikasi tapi bagaimana nanti ia berinteraksi. Dalam konteks inilah, dari jauh-jauh hari Allah me-remind kita semua bil khusus pada orangtua dalam Al-Qur’an bahwa anak bukan saja bisa menjadi penyejuk jiwa (qurrata a’yun) jika dididik dan dibina, namun dalam ayat lain, anak juga disebut sebagai perhiasan (ziinah) musuh (‘aduwwun), bahkan fitnah. Mengapa?

     Dalam konteks anak adalah perhiasan (Qs. 18/46), Allah menggunakan lafadz anak sebagai banun dan disandingkan dengan al-mal (harta). Ayat ini seolah memberikan pengajaran bahwa anak dan harta hanyalah hiasan duniawi yang tak kekal abadi. Karena itu, di ayat berikutnya Allah menegaskan bahwa baqiyat shalihat-- perbuatan/ amal-amal baik itu lebih baqa’ (kekal) di hadapan Allah. Karena itu, berlomba-lomba memperbanyak harta dan keturunan tak jarang melelahkan bahkan melalaikan.

       Kedua, dalam konteks anak sebagai musuh (‘aduwwun) dan fitnah, dua ayat ini bersinambung dalam surah al-Hadid (64/ 14-15). At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa menurut Ibn ‘Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan banyaknya penduduk Makkah yang ingin berhijrah tetapi dihalangi oleh anak-anak dan isteri mereka. Riwayat lain menyatakan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan kasus ‘Auf Ibn Malik al-Asyja’iy yang anak dan isterinya selalu menangis ketika ‘Auf hendak ikut berperang. Mereka takut ditinggal mati oleh ‘Auf. Sehingga, ‘musuh’ dalam konteks ayat ini menurut Quraish Shihab bahwa azwajikum (pasangan) di atas, sebab baik isteri/suami juga anak dapat memalingkan seseorang dari tuntunan agama atau menuntut sesuatu yang berada di luar kemampuan sehingga melakukan pelanggaran.

     Sementara itu, di ayat 15 Allah tidak lagi menyebut pasangan sebagai musuh, namun hanya menyebut anak dalam derivasi lain yakni sebagai fitnah (ujian). Sebab, lanjut Quraish Shihab karena ujian dari anak-anak lebih besar daripada ujian melalui pasangan-- karena anak-anak lebih berani menuntut dan lebih kuat merayu daripada pasangan. Kebanyakan pula, baik suami maupun isteri tidak kuasa menolak permintaan anak karena dilandasi rasa cinta maupun kasih sayang padanya. Bisa jadi pula, dari anaklah orangtua diuji keimanan dan ketabahannya baik karena penyakit yang diderita anak ataupun sikap/ perilaku (akhlak) anak.

    Faktor terakhir yang tertulis di atas memang seringkali menguji kesabaran orangtua. Terlebih di masa perkembangan teknologi seperti hari ini dimana orangtua tidak bisa lagi menerapkan pola asuh yang sama dengan orangtua zaman dulu. Anak zaman now yang dimanjakan dengan teknologi serba instan, harus didekati dengan jurus-jurus mempan. Salah satunya dengan ihsan. Mengapa ihsan?

      Ihsan seakar kata dengan kata hasan (baik/ kebaikan). Sehingga, penanaman nilai-nilai kebaikan (moral value) bisa kita terapkan dalam pengasuhan. Saat anak ‘melawan’ apa yang orangtua perintahkan, mencari sebab-sebab lain yang memicu anak berbuat demikian, bisa menjadi jawaban daripada harus membentak anak di waktu bersamaan karena boleh jadi ia melakukan itu di luar kesadaran. Bisa jadi pula karena pergaulan atau bahkan pengaruh tontonan.

      Ihsan juga bisa diterapkan mengingat dalam hadits shahih disebutkan bahwa ihsan ialah ‘perasaan selalu diawasi’ oleh Allah yang dalam contoh konkritnya ialah saat kita melaksanakan shalat. Memang, kita tidak mampu melihat Allah, tapi sadarlah bahwa Allah senantiasa melihat hamba-Nya. Perasaan selalu ‘diawasi’ ini perlu diajarkan pelan-pelan pada anak agar ia sadar  segala bahwa setiap perbuatan yang ia lakukan ada ganjaran dan balasan. Ia pula yang akan menanggung konsekuensinyaatas apapun yang ia lakukan.

      Dengan pendekatan ihsan (ihsan apporachment) dalam pengasuhan, bukan hanya orangtua yang merasa perlu berhati-hati dalam menanamkan nilai-nilai keseharian dan terus belajar tentang iman dan pengasuhan, namun juga perasaan khasyah (takut) pada Allah karena merasa selalu ‘diawasi’ dalam setiap tindakan. Dengan perasaan tersebut, semoga terlahir kesadaran dan ghirah untuk meningatkan amal kebaikan. Sehingga, dengan kesadaran penuh orangtua bahwa anak bukan saja sebagai 'musuh, ujian dan perhiasan' namun juga bisa naik ke derajat qurrata a’yun, menjadi penyejuk jiwa karena iman dan taqwa. 

       Tentu, untuk naik ke derajat 'qurrata a'yun', anak tak cukup hanya perlu dibekali dengan makanan padat gizi, tapi juga pengetahuan tentang ketuhanan; Allah sebagai Tuhan yang mencipta dirinya dan kepada-Nyalah semua amal bermuara. Bismillah, semoga Allah memudahkan kita semua. Aamiin…

Comments

Popular posts from this blog

Puasa Karena Pengen Masuk Surga, Atau?

Alhamdulillah , dengan penuh suka cita, sebagian besar umat Islam menyambut salah satu bulan mulia ( syahr haram ), bulan rajab yang kian mendekatkan kita ke bulan suci Ramadhan. Ungkapan suka cita itu termanifes dalam beragam bentuk, ada yang lebih rajin mengkaji al-Qur’an, memperbanyak shalat malam, merutinkan sedekah, sampai berupaya puasa sunnah. Terkait berpuasa di bulan Rajab, memang tidak ada ketentuan khusus atau hadits yang dijadikan rujukan. Jikapun ada, hadits itu dha’if (lemah) dan tertolak. Namun demikian, ada satu hadits yang menganjurkan umat Islam untuk merutinkan berpuasa sunnah pada bulan-bulan haram, meski tidak khusus hanya di bulan rajab karena bulan haram itu ada empat yakni Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan haram artinya bulan yang mulia. Allah memuliakan bulan ini dengan larangan berperang. Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Harits yang bertanya tentang puasa sunnah kepada beliau: “ Berpuasalah kamu di bulan kesabaran (Ramadhan), kem...