Alhamdulillah, dengan penuh suka cita, sebagian besar umat Islam menyambut
salah satu bulan mulia (syahr haram),
bulan rajab yang kian mendekatkan kita ke bulan suci Ramadhan. Ungkapan suka
cita itu termanifes dalam beragam bentuk, ada yang lebih rajin mengkaji al-Qur’an,
memperbanyak shalat malam, merutinkan sedekah, sampai berupaya puasa sunnah.
Terkait berpuasa di bulan Rajab, memang tidak ada ketentuan
khusus atau hadits yang dijadikan rujukan. Jikapun ada, hadits itu dha’if (lemah) dan tertolak. Namun demikian,
ada satu hadits yang menganjurkan umat Islam untuk merutinkan berpuasa sunnah
pada bulan-bulan haram, meski tidak khusus hanya di bulan rajab karena bulan
haram itu ada empat yakni Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan haram artinya bulan yang
mulia. Allah memuliakan bulan ini dengan larangan berperang.
Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Harits yang
bertanya tentang puasa sunnah kepada beliau: “Berpuasalah kamu di bulan kesabaran (Ramadhan), kemudian berpuasalah
tiga hari setelahnya, dan kemudian berpuasalah pada bulan-bulan haram”.
(HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i dan Ibnu Majah).
Hadits di atas dijadikan landasan oleh kalangan mu’minin di
masa setelahnya untuk juga meningkatkan puasa sunnah di empat bulan haram
tersebut sebagai bentuk pemuliaan terhadap bulan haram. Beberapa ulama salaf yang melakukan
puasa di semua bulan haram, di antaranya: Ibnu Umar, Hasan Al-Bashri, dan Abu
Ishaq As-Subai’i. Bahkan, dalam kitab Latha’iful
Ma’arif, Imam Ats-Tsauri mengatakan,
“Bulan-bulan haram, lebih aku cintai untuk dijadikan waktu berpuasa.”
Ghirah ibadah puasa yang
dilaksanakan para ulama di atas sesungguhnya selain sebagai bentuk ketaatan
pada Allah juga upaya mendekatkan diri pada-Nya. Tentu upaya ini patut kita
teladani bahkan perlu dicontoh jika bukan dalam bentuk ketaatan pada-Nya,
paling tidak— sebagai ungkapan syukur dari seorang hamba yang dha’if, yang selalu memeroleh ni’mat
yang banyak lagi gratis setiap harinya, untuk sejenak mengosongkan saluran
pencernaan yang hanya beberapa hari dalam sebulan. Proses ‘pengosongan’
pencernaan dari makanan dan minuman, dinilai sebagai amalan terbaik sebagai
detox alami yang dibutuhkan tubuh. Meski bagi sebagian orang, puasa sunnah
mungkin mudah, namun bagi orang yang mengabdikan dirinya pada pekerjaan yang
berat, sangat mungkin puasa sunnah (apalagi Ramadhan) adalah amalan yang sarat
perjuangan.
Oleh karenanya, karena ‘berat’nya ibadah puasa ini dan dimampukan
bagi mereka yang benar-benar siap jasmani dan ruhani, maka ada ganjaran
menanti. Allah menyediakan pintu khusus untuk mereka yang senantiasa berpuasa
karena Allah. Pintu itu adalah ar-Rayyan.
Ar Rayyan secara
bahasa berarti puas, segar dan tidak haus. Ar Rayyan ini
adalah salah satu pintu di surga dari delapan pintu yang ada yang disediakan
khusus bagi orang yang berpuasa.
Dari Sahl bin Sa’ad, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda “Sesungguhnya di surga ada
suatu pintu yang disebut “ar rayyan“. Orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui
pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan
memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang berpuasa.”
Lantas mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang
yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu
tidak ada lagi yang memasukinya” (HR. Bukhari no. 1896 dan Muslim no. 1152).
Ganjaran luar biasa dari-Nya ini adalah janji yang akan
diperoleh untuk mereka yang senantiasa merutinkan puasa. Baik puasa sunnah apalagi puasa wajib. Puasa sunnah yang
dikuatkan misalnya puasa Senin-Kamis, puasa tiga hari setiap bulan, puasa 6
hari pada bulan Syawal, puasa pada bulan-bulan haram (termasuk puasa beberapa
hari di bulan Rajab), atau puasa yang paling Allah sukai yaitu puasa Dawud.
Tentu, ganjaran memeroleh Rayyan
adalah ‘final destination’ yang akan
diperoleh bagi mereka yang mampu dan ikhlas berlapar juga menahan dahaga. Namun,
tentu bukan karena hanya ingin meraih ar-Rayyan,
puasa hendaknya juga menjadi jalan (cara) kita mensyukuri ni’mat-ni’mat Allah
yang tak bisa terhitung (juga takkan pernah mampu menghitung) banyaknya. Masih diberi
nafas hari ini, terhindar dari marabahaya, keluarga dan orang tercinta sehat
sentosa; adalah ni’mat yang tiada tandingannya. Puasalah karena ingin
mengungkapkan rasa cinta dan syukur kita pada-Nya. Puasalah sebagai manifestasi
rasa syukur kita yang masih lebih sering ‘lupa’ cara untuk berterimakasih
pada-Nya. Rasa terimakasih dari relung hati terdalam untuk-Nya yang Maha Barr; Sang Pelimpah Kebaikan yang
kebalikannya melimpah ruah tiada tara. Wallahu
a’lam.
Comments
Post a Comment