Skip to main content

Pengen Dapet Malam Lailat Qadr #DiRumahAja, Gimana Caranya?

Meraih Kemuliaan Lailatul Qadr dari Rumah
Ina Salma Febriany

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Qs. al-Qadr/ 97: 1-5)

Apa yang paling istimewa dari bulan suci Ramadhan bagi teman-teman?
Selain bisa berbuka puasa bersama keluarga setiap hari dan selalu berbagi di masa pandemi ini, ke-khasan lain bulan suci Ramadhan adalah di penghujungnya! Mengapa? Sebab di Ramadhan yang tersisa inilah Allah memberikan satu malam yang sungguh mulia dan lebih baik dari seribu bulan. Qs. al-Qadr/97: 1-5 merekam dengan sempurna!
Apa sih malam Lailat al-Qadr sebenarnya?
Nah, sebelum kita bahas makna Lailat al-Qadr dan kemuliaan yang dimilikinya, kita coba memaknai surah al-Qadr/ 97:1-5 di atas pelan-pelan, yuk!
Surah al-Qadr/ 97: 1-5 di atas diperselisihkan masa turunnya. Ada yang berpendapat, ia turun sebelum Nabi hijrah ada juga yang berpendapat setelahnya. Namun, jika kita melihat kandungan surah ini yang berbicara mengenai Lailat al-Qadr, yang merupakan satu malam mulia di bulan suci Ramadhan, lebih meyakinkan bahwa ayat itu turun pasca Rasul hijrah ke Madinah (mengingat kewajiban puasa baru ada setelah tahun kedua Hijrah).
Kemudian, kata anzalna>hu (Kami menurunkan-nya yakni al-Qur’an) terdiri dari kata anzala atau bemakna telah menurunkan. Kata anzala sendiri terambil dari kata nazala, yakni turun atau berpindah dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Baik secara material maupun immaterial. Pakar bahasa menemukan bahwa anzala umumnya digunakan untuk menunjuk pada turunnya sesuatu secara utuh sekaligus, sedangkan nazzala digunakan untuk turunnya waktu sedikit demi sedikit atau berangsur-angsur. Dua pandangan ini setidaknya menggambarkan bahwa al-Qur’an turun sekaligus—dari Lauh Mahfuz ke langit dunia—sedangkan  turunnya yang berangsur-angsur adalah langit dunia kepada Nabi Muhammad Saw yang dibawa Malaikat Jibril selama kurang lebih 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Dalam rentang waktu yang cukup panjang itulah al-Qur’an diturunkan perlahan-lahan  agar meresap di hati Rasulullah. Terkadang turun sebagai tuntunan/ anjuran, terkadang merekam kembali kisah-kisah Nabi terdahulu, terkadang pula merespons pertanyaan atau peristiwa yang terjadi pada masa itu.
Kedua pendapat di atas dapat dipahami dalam pengertian ‘turun’ yang dikemukakan pada awal uraian ini, yaitu perpindahan tempat dari yang tinggi ke tempat yang rendah, baik secara material maupun immaterial, cara pandang ini tentu sederhana dan tidak perlu berpikir rumit. Bahkan, Quraish Shihab misalnya, ketika menafsirkan ayat ini, beliau merespons bukankah Al-Qur’an tidak diragukan lagi memang diberikan/ diturunkan oleh Allah Yang Maha Tinggi kepada manusia?  Tidakkah pemberian mulia itu diartikan sebagai ‘turunnya’ ayat-ayat suci tersebut dari sisi Allah kepada manusia merupakan perpindahan kedudukan dan derajatnya?
Nah, selain kata kunci anzalna> dan nazzala seperti yang telah diurai di atas, penting pula bagi kita untuk mengupas makna ‘wa ma> adra>ka?’ Dalam beberapa ayat, misalnya Qs. al-Qa>ri’ah, Allah juga menggunakan lafadz ma> adra>ka? dengan kalimat tanya atau bentuk pertanyaan langsung kepada Rasulullah sebagai upaya memberikan penyadaran sekaligus pengajaran. Bentuk pengajaran itu adalah bahwa peristiwa yang disebutkan sungguh akan terjadi. Dan memang, dalam sekian ayat yang menggunakan lafadz ma> adra>ka, secara khusus menunjukkan peristiwa yang memang telah dijanjikan/ akan terjadi; seperti peristiwa datangnya hari kiamat, termasuk kemuliaan malam Lailat al-Qadr yang tengah kita bahas ini. Dengan demikian, bisa kita terjemahkan bahwa malam Lailat al-Qadr itu ada, nyata, dan diperuntukkan bagi siapa saja yakni mereka yang betul-betul mencari, berupaya, berikhtiar untuk memeroleh kemuliannya.
Selain makna ma> adra>ka, kata‘lailat’ yang disandingkan dengan kata Qadr juga memiliki makna tersirat. Lailat atau lailah dari segi bahasa berarti hitam pekat. Itu sebabnya malam dan rambut yang hitam pekat dinamai lail. Kata malam dimaknai para pakar bahasa maupun pendapat manusia secara umum yaitu dari tenggelamnya matahari hingga terbitnya fajar. Namun demikian, dalam surah al-Qadr ini, kita tidak menemukan informasi secara pasti apakah turunnya pada awal malam, pertengahan atau akhirnya. Jika memang kita yakin bahwa Allah turun di sepertiga malam terakhir (seperti hadits yang diuraikan Rasulullah Saw), hal ini tidak bisa dijadikan dasar bahwa wahyu pertama yang diterima Allah pun sepertiga malam. Oleh karenanya, penentuan pasti kapan Al-Qur’an itu turun, sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Mengetahui—demikian Quraish Shihab.
Hal yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah bisa dipastikan bahwa al-Qur’an turun pada 17 Ramadhan? Atau ada pendapat lain? Betul bahwa Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an (Qs. al-Baqarah/2: 185) namun penetapan tanggal 17 Ramadhan masih menjadi perselisihan di kalangan ulama. Dalam Qs. al-Anfa>l/8: 41 misalnya, Allah berfirman, “Apabila kamu percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan pada hari al-Furqa>n, hari bertemunya dua pasukan,”. Beberapa ulama memahami firman ini sebagai hari al-Furqa>n adalah hari turunnya al-Qur’an, sedang bertemunya dua pasukan dipersamakan dengan peristiwa Perang Badr. Anggapan turunnya al-Qur’an yang bertepatan dengan peristiwa Badr (17 Ramadhan) ini diyakini banyak ulama hanya dari sisi penanggalan bukan pada tahun terjadinya peperangan. Mengapa? Karena wahyu-wahyu al-Qur’an sudah sangat banyak turun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Namun demikian, surah lain, Qs. ad-Dukha>n ayat 3 misalnya, memberikan makna eksplisit bahwa turunnya al-Qur’an adalah di malam yang diberkahi, Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi…” (QS. Ad-Dukhaan: 3). Imam Ibnu Katsir rahimahullah (774 H) menafsirkan ayat tersebut bahwa, “(Malam yang diberkahi) itulah Lailatul Qadr, (yang terjadi) pada bulan Ramadhan.
Kemudian, timbul rasa penasaran lainnya, apakah malam Lailat al-Qadr hanya turun sekali saat al-Qur’an diterima Rasulullah, ataukah ada dan turun setiap tahun? Pakar hadits, Ibn Hajar, misalnya, beliau meyakini bahwa malam Lailat al-Qadr hanya sekali sesuai dengan sabda Rasulullah Saw (Innaha> Rufi’at—sesungguhnya malam Lailat al-Qadr telah terangkat dalam arti sudah tidak akan aada lagi). Namun, pendapat Ibn Hajar ini masih menjadi perselisihan para ulama. Mayoritas ulama meyakini bahwa malam Lailat Qadr akan selalu ada setiap bulan Ramadhan bukan saja karena malam itu mulia namun kemuliaan bertambah-tambah karena turunnya al-Qur’an. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah (774 H), di dalam kitab Tafsirnya membawakan hadits lain dengan menukil riwayat Imam Ahmad rahimahullah (241 H) di dalam Musnad-nya dari Abu Dzar radhiallahu’anhu (32 H) yang berkata, “Wahai Rasulullah, beritahu aku tentang Lailatul Qadr! Apakah malam itu pada bulan Ramadhan ataukah pada selainnya? Beliau berkata, “Pada bulan Ramadhan”, (dengan demikian, Lailatul Qadr sudah ada) bersama para Nabi terdahulu, lalu apakah setelah mereka meninggal dunia, malam Lailatul Qadr tersebut diangkat? Ataukah malam tersebut tetap ada sampai hari kiamat? Nabi Saw menjawab, “Akan tetap ada sampai hari kiamat.” Kemudian, Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Pada hadits ini terdapat isyarat seperti yang telah kami sebutkan, bahwa Lailatul Qadr akan tetap terus berlangsung sampai hari kiamat pada setiap tahunnya.
Penegasan bahwa malam Lailat al-Qadr ada setiap tahun dan tidak hanya sekali saat al-Qur’an turun saja menegaskan sabda Nabi Saw bahwa kita semua harus berikhtiar mencari keutamaan malam itu di sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan hati yang siap, ikhlas dan bersih serta dzikir maupun amalan-amalan yang disunnahkan. Shalat malam, tadarus, muhasabah diri, dan banyak lagi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha>, Rasulullah Saw bersabda, “Carilah oleh kalian keutamaan lailatul qadr (malam kemuliaan) pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. (al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (2017), Muslim dalam kitab Shahih-nya pula (1169).
Selanjutnya, Allah menutup firman di atas dengan, Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr/97: 5). Beberapa ulama seperti Mujahid (104 H), Nafi’ (117 H), Qatadah (± 113 H) berupaya menafsirkan bahwa maksud ayat di atas adalah pada malam Lailatul Qadr penuh dengan seluruh kebaikan dan keberkahan, selamat dari segala kejahatan dan keburukan apapun, setan-setan tidak mampu berbuat kerusakan dan kejahatan sampai terbit fajar di pagi harinya.
Bahkan, tanda-tanda yang bisa dirasa dan dilihat berkat kemuliaan malam itu disebutkan pula oleh hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata:, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang (tanda-tanda) Lailatul Qadr, “Malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin, matahari terbit di pagi harinya dengan cahaya kemerah-merahan (tidak terik).
Kesejukan, keamanan dan kesejahteraan yang Allah limpahkan kepada saat malam Lailat al-Qadr dapat betul-betul dirasakan oleh siapa saja, terkhusus mereka yang berupaya  menghidupkan malam itu dengan ibadah. Nah, mengingat Ramadhan 2020 ini terasa istimewa sebab kita semua masih dalam masa pandemi Corona, maka beribadah di rumah bersama keluarga adalah alternatif terbaik demi kemaslahatan bersama. Memaksimalkan keberkahan bulan Ramadhan juga tidak terbatas hanya I’tikaf di masjid (yang belum memungkinkan kita lakukan di masa pandemi ini) saja. Ibadah- ibadah lain yang juga sangat dianjurkan ialah  shalat malam, berdzikir, tadarus bersama keluarga, juga berupaya mengamalkan doa yang dianjurkan Rasulullah Saw adalah seperti yang ditunjukkan oleh hadits A’isyah berikut ini, “Beliau berkata: Wahai Rasulullah, seandainya aku bertepatan dengan malam Lailatul Qadr, doa apa yang aku katakan? Beliau berkata, “Katakanlah, “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwan fa’fu ‘anni/ Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau menyukai maaf, maka maafkanlah aku.”

Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk mengisi malam-malam Ramadhan dengan ibadah serta menghadiahkan kemuliaan Lailat al-Qadr yang penuh berkah,  A>mi>n ya  Rabb al-‘A>lami>n, Wallahu a’lam..

Comments

Popular posts from this blog

Puasa Karena Pengen Masuk Surga, Atau?

Alhamdulillah , dengan penuh suka cita, sebagian besar umat Islam menyambut salah satu bulan mulia ( syahr haram ), bulan rajab yang kian mendekatkan kita ke bulan suci Ramadhan. Ungkapan suka cita itu termanifes dalam beragam bentuk, ada yang lebih rajin mengkaji al-Qur’an, memperbanyak shalat malam, merutinkan sedekah, sampai berupaya puasa sunnah. Terkait berpuasa di bulan Rajab, memang tidak ada ketentuan khusus atau hadits yang dijadikan rujukan. Jikapun ada, hadits itu dha’if (lemah) dan tertolak. Namun demikian, ada satu hadits yang menganjurkan umat Islam untuk merutinkan berpuasa sunnah pada bulan-bulan haram, meski tidak khusus hanya di bulan rajab karena bulan haram itu ada empat yakni Zulqa’dah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan haram artinya bulan yang mulia. Allah memuliakan bulan ini dengan larangan berperang. Rasulullah SAW bersabda kepada Abdullah bin Harits yang bertanya tentang puasa sunnah kepada beliau: “ Berpuasalah kamu di bulan kesabaran (Ramadhan), kem...