Menyemai
Toleransi Di Masa Pandemi
Ina Salma Febriany
Alhamdulillah,
sujud penuh syukur Allah masih memberikan ni’mat sehat di bulan suci Ramadhan 1441
yang terasa istimewa ini. Istimewa bukan hanya karena hadirnya pandemi, istimewa karena di bulan suci ini, menjadi
momentum terbaik untuk menyemai toleransi. Umat Islam tengah khusyu’ dengan
puasanya, sementara umat non-muslim, tetap menjaga dan menghormati kesucian
bulan ini, demikian indahnya hidup ini!
Berdiskusi mengenai toleransi, kira-kira,
apa yang ada di benak teman-teman? Menghargai ibadah umat lain? Menghormati apa
yang diyakini orang yang berbeda keyakinan dengan kita? Atau mengikuti kepercayaan/praktik
agama lain?
Sebelum beranjak kepada makna toleransi,
maka ada baiknya kita pahami dulu mengapa toleransi ini sedemikian penting dan
dipahami dengan benar. Bukan karena hanya bertujuan menciptakan keharmonisan
antar umat beragama, namun juga ada hal penting yang sangat vital sebagai perwujudan
sunnatullah/ ketentuan yang dikehendaki Allah. Apakah itu? Perbedaan! Ya, karena perbedaan itulah, Allah menghendaki setiap
umat beragama (khususnya umat Islam) memiliki perasaan mau menerima segala
perbedaan. Baik berbeda secara fisik (warna kulit, bahasa, postur tubuh,
perbedaan suku, dan lain sebagainya). Maupun perbedaan intrisik yakni perbedaan
yang sifatnya abstrak namun sangat penting, dalam hal ini pebedaan pandangan/ ideologi/
keyakinan termasuk agama.
Menyoal perbedaan fisik maupun intrinsik
ini, Al-Qur’an menyebutkan beberapa ayat terkait hakikat perbedaan ini. Perbedaan-perbedaan
fisik misalnya dalam ayat, “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui,” (Qs. ar-Ru>m/
30: 22), atau dalam surah al-Hujura>t/ 49: 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Kedua ayat di atas memberikan isyarat
penting pertama, Allah menciptakan
perbedaan bahasa dan warna kulit sebagai bukti bahwa Dia Maha Kuasa menjadikan
perbedaan itu. Kedua, dalam surah
al-Hujura>t/49: 13 Allah Yang Maha Menghendaki perbedaan itu ingin seluruh
manusia yang tercipta dari banyak bangsa dan suku agar mau dan saling mengenal
(li ta’a>rafu>). Melalui tujuan perbedaan inilah manusia sebenarnya harus
menyadari secara penuh bahwa perbedaan itu tercipta berkat sifat rahmah-Nya
(kasih sayang) agar manusia belajar dari perbedaan dan mau melengkapi satu sama
lain—sebab dasarnya, tiada satu manusiapun yang sempurna, kita saling
membutuhkan satu dengan lainnya.
Nah, setelah mengetahui hakikat
perbedaan yang dikehendaki Allah inilah kesediaan dan mau bertoleransi atas
perbedaan agama/ keyakinan menjadi hal yang sangat dianjurkan al-Qur’an. Mengawali
makna kata toleransi, kata ini sebenarnya memiliki padanannya dalam bahasa
Arab. Toleransi dalam bahasa Arab berasal dari kata tasa>muh (akar katanya samaha)
yang berarti perasaan mau menerima apa yang diyakini orang lain, baik
menyangkut pendapat, pandangan maupun kepercayaan. Namun demikian, kata ini
tidak kita temukan di dalam satu surah pun dalam al-Qur’an. Kendati tidak
ditemukan, ada beberapa ayat yang berkenaan/ berkaitan dengan isyarat toleransi,
misalnya Qs. al-An’a>m/6: 35, Qs. Yu>nus/ 10: 99, Qs. Zukhruf /43: 33, Qs.
ar-Ra’du/ 13: 31, Qs. at-Tagha>bu>n/ 64: 2 dan Qs. al-Ma>idah/ 5: 48,
termasuk an-Nahl/16: 93.
Beberapa surah tersebut menegaskan
bahwa Allah tidak menghendaki keseragaman/ satu umat. Allah justeru memberikan alternatif
seluas-luasnya, agar manusia bisa memilih ingin beriman atau kafir, bahkan—pemaksaan
atas nama agama tidak diperbolehkan. Hal ini terjadi karena Allah telah
memberikan modal terbesar dalam hidup seluruh manusia yaitu akal pikiran yang
tidak Dia berikan kepada makhluk selain manusia, agar mereka bisa memilih
dengan hati dan pikiran jalan mana yang akan ia pilih, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat
(saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya
tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. an-Nahl/16: 93).
Selain beberapa ayat di atas, satu ayat
yang paling eksplisit disebut sebagai dasar pondasi umat Islam dalam toleransi keyakinan
(agama), ialah, “Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.” (Qs. al-An’a>m/6: 108).
Kata tasubbu> (memaki) dalam lafadz di atas, berasal dari kata sabba yaitu ucapan yang mengandung makna
penghinaan terhadap sesuatu atau penisbahan suatu kekurangan atau aib
terhadapnya, baik hal itu benar maupun belum tentu benar. Sebab turunnya ayat
tersebut di atas ialah untuk memberikan pengajaran pada Rasulullah, para
sahabat dan semua umat Islam untuk
menahan diri sekaligus larangan agar tidak memaki kepercayaan/ sesembahan
kaum musyrikin karena makian terhadap mereka tidak menghasilkan kemaslahatan
apapun dalam agama. Makian dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bukan saja
kepada si pemaki (karena ia mengotori lisannya untuk memaki sesembahan
sesamanya), terlebih juga kepada yang dimaki karena ia akan makin antipati
bahkan menjauh.
Selain itu, larangan memaki tuhan-tuhan
dan kepercayaan pihak lain, menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, merupakan tuntunan
agama guna memelihara kesucian agama-agama dan guna menciptakan rasa aman serta
hubungan harmonis antar-umat beragama. Sebab, sudah menjadi fithrah dan tabiat bahwa
manusia sangat sensitif dan terpancing emosinya jika agama dan kepercayaannya
disinggung—apapun kedudukan sosial dan tingkat pengetahuannya, sebab agama
bersemi di dalam hati penganutnya; sementara hati adalah sumber emosi.
Selain fitrahnya manusia tidak senang
dengan segala bentuk penghinaan terhadap sesembahan, penganut madzhab Imam
Malik misalnya, merespon ayat ini sehingga merumuskan istilah sadd adz-dzari>’ah yaitu menampik
peluang atau melarang sesuatu yang dibenarkan agama untuk mencegah segala macam
faktor yang dapat menimbulkan kemudharatan, dengan menahan diri untuk tidak
menghina sesembahan agama lain.
Dasar-dasar toleransi yang digaungkan
Al-Qur’an ini sungguh rasional. Umat Islam diminta untuk menahan diri bukan
hanya untuk kebaikan diri pribadi dan umat sesamanya, namun juga untuk menjaga
kesucian Zat Allah. Secara tidak langsung, ketika kita memahami ayat ini
sebagai tuntunan, kita berperan besar agar mereka (umat lain) tidak menghina
Allah dengan melampaui batas (berlebihan) dan tanpa pengetahuan (tentang
Allah). Hal ini ditegaskan oleh lafadz ‘adwan
yang berarti permusuhan dan melampaui batas, dan dapat juga diartikan lari atau
tegesa-gesa. Isyarat dari makna ‘adwan
ialah bahwa setiap pelecehan agama—apapun agama itu—merupakan pelampauan batas
serta mengundang permusuhan. Lebih lanjut, makna bi-ghayri ‘ilm (tanpa pengetahuan) memiliki dua arti; yakni kalau
yang dicaci adalah agama yang haq, kebodohan si pencaci sangat jelas dan bila
yang dicacinya agama yang sesat, ia pun
tidak memiliki pengetahuan yang benar mengenai larangan Allah ini.
Jika kita memahami lebih dalam, maka larangan
ayat di atas sebetulnya sejalan dengan firman Allah berikutnya bahwa setiap
umat merasa bahwa apa yang mereka lakukan (penghambaan terhadap apa yang ia
yakini itu benar. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsirnya menguraikan, hal
inilah yang mengakibatkan kaum musyrikin membela kepercayaan mereka yang sesat
karena kebodohan dan pelampauan batas. Berikutnya, makna Kami perindah untuk semua umat
amal-amal mereka, terlepas dari apakah perbuatan itu baik atau buruk,
apakah iman atau kufur, karena telah berlaku ketentuan Allah menyangkut tabiat
manusia bahwa mereka menganggap baik kebiasaan mereka serta mempertahankan tradisi
mereka.
Lantas? Apakah dengan Allah menjadikan
indah amal-amal (penyembahan suatu kaum selain Allah) adalah sesuatu yang
terjadi atas izin-Nya? Quraish Shihab kembali bependapat bahwa apa yang
diizinkan terjadi, belum tentu sesuai dengan apa yang Dia ridhai. Dengan demikian,
kekufuran dan keimanan tentu terjadi karena izin-Nya, namun, kekufuran sama
sekali tidak diridhai-Nya. Dengan demikian, keterlibatan Allah adalah pada
hal-hal yang sunnatullah yang berlaku
untuk semua manusia antara lain siapa yang tidak membentengi diri dengan iman
dan taqwa, dia akan terbawa hawa nafsu dan keburukan dianggapnya indah. Dengan penjelasan
ini, sebenarnya kita bisa memahami bahwa manusia diberi kebebasan untuk
memilih, bahkan al-Qur’an telah memberikan banyak petunjuk menuju keimanan
sejati.
Nah,
dalam kesempatan Ramadhan yang bertepatan dengan pandemi ini, menyemai kembali
makna toleransi sangat penting. Bukan hanya karena Islam melarang keras
menghina sesembahan kaum lain, namun karena toleransi dapat membawa kedamaian
hakiki. Kedamaian yang akan terwujud jika seluruh umat secara sadar dan
berlapang dada bersama-sama menghargai segala perbedaan yang ada. Perbedaan adalah
rahmah, perbedaan seharusnya mampu menyatukan bukan menghancurkan. Wallahu a’lam..
Comments
Post a Comment