Terlahir
sebagai agama kemanusiaan, Islam betul-betul meletakkan sendi-sendi hubungan
sesama dengan begitu serasi dan harmonis dalam Al-Qur’an. Berulang kali
kata-kata shilah (sambung/
menyambung) -arrahi>m (kasih
sayang) terulang dalam Al-Qur’an untuk mengingatkan kita semua bahwa menyambung
kasih sayang terhadap saudara/ keluarga jauh/ teman/ kerabat sangat penting—
bukan hanya ingin memperbanyak kawan, namun menyambung ikatan ini adalah pesan
sosial yang langsung disebut dan diperintahkan dalam Al-Qur’an salah satunya
dalam surah, “Dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka
takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk,” (Qs. ar-Ra’du/13:
21)
Qs.
ar-Ra’du/13: 21 di atas sejalan dan masih terkait dengan ayat sebelumnya
yakni ayat 19-20 mengenai deskripsi
sifat-sifat U>lu>l Alba>b
yang memiliki beberapa sifat yaitu, pertama,
memenuhi janji (ketika ia berjanji kepada sesama). Kedua, tidak merusak perjanjian (yang sudah disepakati). Ketiga, seperti yang disifati pada ayat
di atas yaitu orang yang senantiasa menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan (hubungan kekerabatan) dan cirri terakhir yaitu keempat, U>lu>l
Alba>b ialah mereka yang takut kepada Allah akan hisab (perhitungan
amal) yang buruk di hari kiamat),
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta?
hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran. (yaitu)
orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,” (Qs.
ar-Ra’du/13: 19-20).
Beberapa sifat kebaikan yang
dimiliki pribadi U>lu>l Alba>b tersebut di atas,
menurut Ibnu Katsir menjadi pembeda dengan sifat orang-orang fasiq di surat Al-Baqarah/2: 27 yang
berbicara tentang sebaliknya, yaitu mereka yang pertama, melanggar perjanjian
Allah sesudah perjanjian itu teguh. Kedua, memutuskan apa yang diperintahkan
oleh Allah untuk dihubungkan dan ketiga, membuat kerusakan di muka bumi.
Ayat di atas tidak menyebut
istilah silaturahim secara tekstual atau eksplisit, sebab demikian, tidak ada
ayat Al-Qur’an yang menyebut langsung dengan sharih (jelas) istilah/ lafadz
‘silaturahim’ ini. Namun ayat tersebut di atas dan ayat-ayat silaturahim yang
lain hanya menyebut karakteristik secara umum ‘menghubungkan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan’.
Sehingga apa yang harus dihubungkan? menjadi sesuatu yang bersifat umum.
Meskipun mayoritas para mufassir seperti yang disebutkan oleh Ibnu Katsir
merujuk kepada makna menghubungkan tali silaturahim.
Disini kata ما yang menunjukkan makna umum dalam ayat silaturahim mengisyaratkan
luasnya cakupan silaturahim yang tidak dibatasi dengan bentuk tertentu dari upaya
menghubungkan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan. Demikian juga larangan
memutuskan silaturahim menggunakan ‘ما’ yang mengisyaratkan makna semua
jenis perbuatan yang dapat dikategorikan memutuskan
silaturahim— apapun bentuknya— seperti yang disebut di surat Al-Baqarah: 27 dan
surat Ar-Ra’d: 25.
Dalam pandangan Imam
Qurthubi, silaturahim dapat dibagi menjadi dua kategori; silaturahim umum dalam
ikatan agama seperti saling
menasehati, menunaikan hak-hak yang wajib dan sunnah antar orang-orang beriman.
Kedua, silaturahim khusus antar
mereka yang ada ikatan nasab dan kekerabatan. Namun kedua jenis silaturahim
tersebut tetap harus dipenuhi sebagai ketentuan dan perintah agama. Nah, silaturrahim jenis ketiga, sebagai
tambahan juga kepada sesama makhluk Allah terlepas dari agama yang mereka anut—dalam
batas yang wajar.
Nah,
diskusi mengenai silaturrahmi di masa pandemi wabah Covid-19 ini, bagaimana
semestinya kita menyambung ikatan kasih sayang ini? Mengingat pertemuan fisik
diupayakan untuk dikurangi atau bahkan tidak sama sekali guna menekan
penyebaran virus yang lebih luas.
Sejatinya,
Al-Qur’an tidak memberikan bentuk yang spesifik terhadap silaturrahim itu
sendiri. Setiap manusia diperbolehkan menyambung tali kasih sayang dengan
beragam cara sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Bersyukur, teknologi
mutakhir bisa dipilih menjadi alternatif untuk mendekatkan hubungan yang telah
berjarak dan merekatkan kembali hubungan yang sempat merenggang. Dengan demikian,
silaturrahim via media sosial menjadi pilihan terbaik di masa pandemi ini. Bentuk
lainnya? Kita juga bisa saling mengirim makanan, hadiah-hadiah sederhana dan lain sebagainya. Namun, jika belum mampu
dalam bentuk materil, tentu kita masih bisa
memberikan hadiah terbaik berupa do’a agar saudara/ kerabat/ teman
sejawat yang jauh selalu dalam kondisi sehat lahir batin serta dalam
penjagaan-Nya.
Lantas,
bagaimana jika kita sudah menjalin silaturrahim namun orang tersebut justeru
memutuskannya? Menghubungkan silaturrahim walaupun orang lain memutuskannya,
juga disabdakan oleh Rasulullah Saw seperti salah satu hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, ra bahwa seorang laki-laki berkata, ‘Ya Rasulullah, saya
memiliki kerabat. Saya menyambungkan hubungan kekeluargaan dengan mereka,
tetapi mereka memutuskannya. Saya berbuat baik kepada mereka, tapi mereka berbuat buruk pada saya. Saya
bersikap santun, tapi mereka bersikap masa bodoh kepada saya. Beliau lalu bersabda,
“Jika apa yang kamu katakan itu benar,
mereka seolah-olah kehausan lalu kamu tuangkan air ke mulut mereka tiada
henti. Selama kamu berbuat demikian
kepada mereka, pertolongan Allah senantiasa bersamamu,” (HR. Imam Muslim).
masyaAllah. Allah menjanjikan pertolongan bagi siapa saja hamba-Nya yang sudah
berupaya menyatukan ikatan yang sempat rusak; namun tidak mendapatkan respon
baik dari kerabat tersebut. Sebab, betapa meruginya orang yang enggan menjalin
kasih sayang kepada sesama sebab surga menjauh darinya. Hal ini disampaikan dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Jubair bin Muth’im ra bahwa Nabi Saw,
bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan,”
(HR. Imam Muslim)
Dalam
hubungan sosial kemanusiaan—memang terkadang tidak selalu baik, akan selalu ada
masalah dan kesalahpahaman yang mungkin terjadi. Namun, satu hal yang harus
kita yakini; sikap belas kasih, lemah lembut dan memaafkan jauh lebih mulia dan
dianjurkan Allah maupun Rasulullah agar tidak hanya kita kelak akan menjadi
hamba-Nya yang senantiasa diganjar pahala surga, namun juga ganjaran yang jauh
lebih mulia yakni seperti hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa,
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala pada hari kiamat berfirman,
“Manakah orang-orang yang saling
mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku naungi mereka di bawah naungan-Ku
dan tidak ada naungan kecuali naungan-Ku,” (HR. Imam Muslim).
So, Guys.. walau kita harus tetap di rumah aja di masa pandemi
ini, jangan membuat kita terkurung dan ansos alias anti-sosial ya! Tetaplah berupaya
menyapa kawan/ saudara jauh meski hanya sekedar salam dalam media sosial. Syukur-syukur
jika kita mau menyisihkan rezeki untuk saling berbagi rezeki. Semoga saja, kita semua kelak mendapatkan naungan dari
Allah di hari kiamat kelak—sebab tiada naungan yang lebih aman, teduh dan penuh
perlindungan dari kedahsyatan peristiwa kiamat nanti selain lindungan naungan
dari Allah ar-Rahma>n. Aamiin ya Rabb
al-A>lami>n..
Comments
Post a Comment