Refleksi
Hari Kartini; Pemuliaan Allah Untuk Perempuan dan Laki-laki
Ina
Salma Ferbiany
Siapa yang tak kenal sejarah Hari
Kartini? Hari dimana awal mula digaungkannya semangat emansipasi. Semangat membara
dari seorang perempuan berdarah Jepara yang berupaya menyuarakan keadilan
akibat penindasan terhadap perempuan, khususnya di bidang pendidikan. Tanggal 21
April pula menjadi sangat spesial karena
biasanya dimeriahkan oleh acara seremonial. Acara-acara meriah di perkantoran
maupun sekolah dengan balutan baju adat daerah yang sangat menyejarah. Namun,
peringatan Hari Kartini tahun 2020 ini sungguh berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Persis di tahun pandemi ini, Hari Kartini nyaris tanpa perayaan apapun.
Meski demikian, semangat Kartini sungguh masih menyala dan abadi.
Adalah Raden Ajeng Kartini (1879- 1904) yang pada
Agustus 1900, menulis, “Kami perempuan
Jawa wajib bersifat menurut dan menyerah. Kami harus seperti tanah liat yang
dapat dibentuk sekehendak hati.” Kartini menggunakan pronomina ‘kami’ sebab
melihat fenomena sekian banyak perempuan Jawa yang dia saksikan, perjuangkan,
dan sekaligus menjadi keprihatinan terbesarnya.
Menanggapi ungkapan
Kartini di atas, Sejarawah Peter Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, berupaya menelusuri
pengaruh wanita Jawa dalam arus politik, pergerakan militer, penjaga tradisi
budaya, kepenulisan sastra, penjunjung agama, pembimbing-pendidik anak-anak
(penguasa) Jawa, pemelihara trah pertalian wangsa, sebagai pengusaha, juga pengendali
finansial politik. Hasilnya, pada abad ke-18 dan ke-19, atau era sebelum
Kartini, (era pemerintahan kolonial yang sesungguhnya/ high colonial period) yang terbentang
antara Perang Jawa/Diponegoro (1825-1830 M) dan awal pendudukan militer Jepang
(1942-1945). Bagi Carey dan Houben pada awal sebelum Perang Jawa dan masa-masa
sesudahnya adalah masa yang krusial dalam menelusuri perubahan peran dan kuasa
perempuan Jawa, sebelum begitu terpengaruh kuasa kolonialisme Eropa yang
didominasi lelaki patriarkis sekaligus sebelum kuasa Islam-Jawa patriarkis
begitu dominan.
Napak tilas perjuangan
Kartini memang sangat tidak mudah. Beruntung, dirinya pandai menulis dan
menguraikan ide-ide cemerlang sehingga tulisannya itu ‘menggema’ seantero Jepara
bahkan dunia! Sekarang, Kartini telah tiada ratusan tahun silam. Namun, perjuangannya
sungguh luar biasa tak terhingga. Karena Kartini, perempuan-perempuan pada
masanya hingga saat ini bisa merasakan hak memeroleh pendidikan yang juga
dijunjung tinggi dalam salah satu pasal di UUD1945. Sebaliknya, jika Kartini
tak pernah ada, perempuan mungkin akan terkungkung dalam ketidakadilan padahal
sebenarnya di tangan perempuanlah peradaban keluarga, masyarakat hingga dunia
bisa terwujud.
Semangat juang Kartini
yang bersikukuh menyuarakan keadilan dan kesetaraan khususnya di bidang
pendidikan bagi kaum menengah ke bawah sejatinya sejalan dengan apa yang
diperintahkan Al-Qur’an. Secara tersurat, kitab suci ini memberikan tuntunan
bagaimana prinsip ta’a>wun
(bekerjasama) dapat terwujud oleh keduanya baik laki-laki maupun perempuan. Misalnya
dalam tiga ayat di bawah ini; “Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari
yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah/9: 71)
Kata kunci di atas setidaknya adalah
pertama pada lafadz awliya>
(penolong). Kedua, laki-laki dan
perempuan keduanya memiliki tugas utama di muka bumi untuk mengerjakan kebaikan. Ketiga, selain diperintahkan untuk
berbuat baik, keduanya juga diwajibkan mencegah kemunkaran serta melaksanakan
ibadah-ibadah individu (shalat) dan ibadah sosial (zakat). Beberapa kewajiban
ini dilakukan agar keduanya mendapat rahmat (kasih sayang) dari Allah.
Selain aneka kewajiban yang
diperintahkan dalam surah at-Taubah/9:71 di atas, surah an-Nisa>/4: 124 juga
menguraikan hal yang hampir sama yakni terkait kewajiban keduanya, namun dengan
penegasan ganjaran yang akan mereka terima, “Barangsiapa
yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun. (Qs. an-Nisa>/4: 124)
Berikutnya, hampir senada dengan surah
an-Nisa>/4: 124 di atas, surah an-Nahl/16: 97 juga memberikan motivasi dan
ganjaran yang akan diterima oleh para pelaku kebaikan/ amal shaleh yang
subjeknya dalam ayat ini adalah laki-laki dan perempuan.“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik. dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Qs.
an-Nahl/16: 97).
Dalil-dalil di atas yang secara jelas
mengukuhkan bahwa laki-laki dan perempuan akan memeroleh ganjaran yang sama
selagi mereka melakukan kebaikan (dalam keadaan beriman), diungkap oleh
Nasaruddin Umar dengan istilah prestasi spiritual. Sehingga, karena ganjaran
yang sama itulah perempuan dan laki-laki memeroleh kesempatan seluas-luasnya
untuk memeroleh pahala, bukan hanya salah satunya saja. Sehingga, jika dalam
urusan spiritual Allah memberikan
derajat yang sama untuk keduanya, kekerasan dan ketidakadilan atas nama apapun
(terlebih karena dalih agama, sangat tidak direstui oleh Al-Qur’an).
Berkat peneguhan bahwa laki-laki dan
perempuan berhak memeroleh pahala dan ganjaran atas perbuatan baiknya itulah;
hakikatnya, Allah telah memuliakan seluruh anak Adam (manusia), tanpa
terkecuali. Hal ini termaktub dalam Qs. al-Isra>/17: 70), “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Dalam surah al-Isra>/17: 70 di atas
Allah memberikan satu kata kunci yang artinya sangat luar biasa yakni karramna> yang memiliki akar kata karrama (ka>f, ro>, mi>m) yang
memiliki makna memuliakan. Muhammad Quraish Shihab menguraikan bahwa karramna> berbeda dengan fadhdhala. Jika fadhdhala adalah keutamaan yang diberikan karena ada jeripayah/
upaya manusia, karramna> berarti
keutamaan yang murni diberikan (given)
langsung bersumber dari Allah karena izin, kebaikan dan rahmat-Nya. Sehingga, sudah semestinya
sikap saling menjaga dan menghormati harus dipraktikkan dalam hidup
sehari-hari. Sebab, Allah-lah Yang Maha Menciptakan dan Memberi Hidup kepada
seluruh manusia sekaligus memulikannya. Tentu, segala tidakan kekerasan dan
ketidakadilan sangat tidak direstui-Nya. Kartini seolah membawa pesan bahwa
kesetaraan (dalam hal-hal yang tidak melanggar syariat) ekonomi, kesehatan, pendidikan,
hukum, harus diperjuangkan! Selamat hari Kartini. Semoga perempuan dan
laki-laki dapat saling bersinergi melakukan hal-hal positif demi kebaikan diri,
keluarga, masyarakat dan dunia!
Comments
Post a Comment