Meneladani
Prinsip Hani>f dalam Hadapi Musibah
ala Nabi Ibra>him As
Ina Salma Febriany
Alhamdulillah, ibadah puasa tengah dijalani umat muslim seluruh
dunia dalam kondisi yang mungkin berbeda dan lebih istimewa dari Ramadhan
sebelumnya. Meski terkesan berbeda karena masih dalam pandemi Corona, kita
harus tetap menjalaninya dengan penuh syukur dan sukacita. Ramadhan juga selalu
istimewa dan ‘diistimewakan’ khusus dan hanya untuk umat Rasulullah Saw. Keistimewaan
ini setidaknya karena selain seluruh amalan baik dilipatgandakan pada bulan
ini, keistimewaan lain Ramadhan tahun ini dijadikan Allah sebagai bulan training dan muja>hadah melalui ibadah-ibadah yang seluruhnya dilakukan
bersama keluarga di rumah. Sehingga, yang biasanya mungkin setiap Ramadhan sibuk
travelling keliling dari satu masjid ke masjid lain, tahun ini, Allah menginginkan
seluruh umat muslim menjadikan rumah sebagai masjid (tempat sujud) sebab memang,
seluruh muka bumi, diakui Allah adalah tempat bersujud kepada-Nya. Masya>Allah..
Keistimewaan lain yang tak kalah penting, bulan suci ini Allah juga menghendaki
kita semua untuk belajar hakikat ‘menahan’—seperti makna dasar puasa yakni
menahan diri dari segala hawa nafsu; ingin makan, minum, meluapkan amarah dan
segala hal yang tidak diridhai-Nya. Bentuk ‘menahan’ yang paling sesuai di
musim pandemi ini ialah menahan diri agar tetap tenang dan produktif di rumah. Ya,
tiada pilihan yang paling baik selain tetap di rumah dan memulai ibadah-ibadah
baik di rumah. Membantu orang tua menyiapkan menu sahur- berbuka, bersedekah online, mengaji tadarus dan belajar online, silaturrahim online, sampai bercengkrama dengan keluargapun dinilai ibadah. Mengapa? Sebab bisa
jadi, jika kita memaksa diri untuk keluar rumah apalagi melanggar anjuran
pemerintah (bersikeras tetap mudik); justeru akan jadi musibah dan corona kian
mewabah! Na’udzubillah..
Analogi corona sebagai musibah yang mewabah jelas karena virus ini
sangat bisa menjangkiti siapa saja tak peduli apa agamanya, suku, budaya dan
strata sosialnya. Semua orang dari berbagai kalangan bisa terinfeksi karenanya.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk melindungi diri, keluarga dan sesama
dalam menghadapi wabah ini. Wabah yang semoga adalah bentuk ujian sekaligus
kasih sayang-Nya, bukan azab sebagai bentuk murka-Nya. Berbicara mengenai
ujian, cobaan, musibah, hakikatnya telah ada dan menimpa manusia terdahulu;
para Nabi sekalipun. Kita bisa melihat lembaran firman Allah yang merekam
betapa ujian kenabian itu sangatlah berat. Nabiyallah Ibrahim sebagai Bapaknya
Para Nabi (dari keturunan
Ibrahim banyak yang diangkat menjadi Nabi, salah satunya Rasulullah Saw) adalah
sebaik-baiknya teladan. Nah, bagaimana kita bisa meneladani Nabi yang bergelar khalilulla>h (kekasih Allah) dalam menghadapi kesulitan
baik cobaan mau musibah ini?
Nabi Ibrahim as terlahir dari seorang ayah (Azar) yang musyrik. Ayahnya
seorang pembuat berhala. Sehingga, ujian Nabi Ibrahim as yang cukup berat ini adalah
ujian kesyirikan Ayahnya. Dikatakan berat karena dosa syirik ialah dosa besar
yang paling berbahaya dan tidak diampuni Allah (Qs. an-Nisa>/4: 48). Namun demikian,
Ibrahim as senantiasa memperingati ayahnya dengan sabar. Surah Maryam/ 19: 45-48
merekam dengan sempurna percakapan sepasang ayah dan anak ini; “Wahai Bapakku,
sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah,
maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". berkata bapaknya: "Bencikah
kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya
kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". berkata
Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan
ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. dan aku
akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku
akan berdoa kepada Tuhanku, Mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa
kepada Tuhanku".
Melalui percakapan Nabi Ibrahim bersama ayahnya di atas, kita melihat
bahwa kendati ayah Ibrahim berbuat syirik, Ibrahim tetap bersikap baik dan
mengutamakan adab juga akhlak dalam menghadapi sang ayah. Bahkan, diakhir ayat
di atas, Ibrahim tetap mendoakan, berharap Allah mengampuni dosa-dosa ayahnya. Ibrahim
tahu bahwa perbuatan ayahnya harus dihentikan sebab syirik adalah satu dari
tiga bentuk kezaliman. Seperti dalam hadits dari
Anas bin Malik bahwa kezaliman ada tiga. Pertama,
kezaliman yang tidak Allah ampuni. Kedua, kezaliman yang Allah ampuni dan Ketiga,
kezaliman yang tidak mungkin dibiarkan oleh Allah.
Adapun kezaliman
yang tidak Allah ampuni, itu adalah kesyirikan. Allah berfirman, ‘kesyirikan
adalah kezaliman yang paling fatal’. Adapun kezaliman yang Allah ampuni
adalah kezaliman seorang hamba pada dirinya sendiri, antara ia dengan Allah. Adapun
kezaliman yang tidak mungkin dibiarkan oleh Allah adalah kezaliman hamba pada
orang lain sampai kezaliman tersebut terbayar (meminta maaf pada orang yang
dizalimi).” (HR. Abu Dawud).
Keluhuran akhlak Nabi Ibrahim as dalam menghadapi sang ayah yang kafir patut
kita teladani bersama. Tak heran, selain bergelar Bapak dari
Para Nabi juga khalilulla>h (kekasih Allah), Al-Qur’an berulang kali
menyebut Nabi Ibrahim sebagai sosok hani>f (lurus). Terkait lafadz hani>f, Al-Qur’an menyebutkan sebanyak sepuluh kali,
beberapa di antaranya adalah; Qs. al-Baqarah/ 2: 135, Ali-Imra>n/3: 67, Ali
Imra>n/3: 95, Qs. an-Nisa>/4: 125, al-An’a>m/6: 79, al-An’a>m/6:
79, Qs. al-An’a>m/6: 161, Qs. Yunus/10: 105, Qs. An-Nahl/16: 120, Qs. an-Nahl/16:
123, Qs. ar-Ru>m/ 30: 30, sementara derivasi hani>f yakni hunafa>’ disebut sebanyak dua kali yaitu dalam Qs.
al-Ha>jj/ 22: 31, Qs. Bayyinah/ 98: 5.
Dari sekian banyak lafadz hani>f yang disebutkan di atas, salah satu lafadz hani>f sebagai penegasan langsung dari Allah tentang
pribadi/ keyakinan Nabi Ibrahim ialah, “Ibrahim bukan seorang Yahudi
dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang hani>f
(lurus) lagi muslim (berserah diri) kepada Allah dan sekali-kali bukanlah Dia termasuk
golongan orang-orang musyrik.” (Qs. Ali Imra>n/ 3: 67).
Hanîf adalah kecenderungan dasar manusiawi yang selalu
mengajak dan mendorong manusia agar mencintai dan merindukan yang benar. Sejak
dari penciptaannya terdahulu, manusia berada dalam sebuah kesucian asal atau
juga sering disebut kesucian primordial. Kesucian asal juga sering
diistilahkan dengan fitrah. Fitrah
inilah yang kemudian mengantarkan kepada tujuan awal manusia hidup yakni
sebagai ‘abd Allah (hamba Allah) juga
sebagai khali>fah (pemakmur/
pemelihara) yang Allah utus di muka bumi. Sejalan dengan itu, semua perintah
ibadah dalam Al-Qur’an, hakikatnya untuk mencapai fitrah manusia itu sendiri seperti tujuan perintah ibadah
puasa demi mencapai apa yang disebutkan al-Qur’an dengan la’allakum tattaqu>n (agar kalian menjadi orang yang bertakwa).
Di samping bertujuan mencapai
ketakwaan, ibadah puasa juga dapat mempertajam kepekaan hati nurani yang
mengajak ke kebenaran dan kebaikan. Ketajaman dan kepekaan hati nurani
diperoleh dengan pelatihan ruhaniah lewat ibadah shalat, misalnya shalat yang khusus dilaksanakan hanya saat bulan Ramadhan
(tarawih)—yang sebenarnya adalah shalat malam (qiyâmu al-lail) yang sempat
dilakukan Rasulullah (lebih banyak) di rumah. Dalam perkembangannya, tepatnya
pada masa Khalifah Umar bin Khaththab r.a., shalat tarawih dilakukan secara
berjamaah.
Selain itu, ibadah puasa juga
memberikan pelatihan menahan kesabaran dan konsisten dalam mengendalikan
dorongan atau bisikan hawa nafsu. Seluruh ajaran dan amalan tersebut identik
dengan mempelajari keteladanan Nabi Ibrahim sebagai figur pribadi yang hanîf atau yang selalu mengikuti bimbingan hati
nurani. Pribadi yang sangat patuh dan penuh keikhlasan serta ketulusan kepada
Tuhannya dan tidaklah sekali-kali menyekutukan-Nya. Dalam Al-Quran dinyatakan, Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, lagi patuh kepada
Allah dan hanîf. Dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS
Al-Nahl/16: 120).
Ibrahim a.s adalah teladan kita bersama. Begitu luhurnya pribadi beliau,
hingga Allah mengabulkan doa Nabi
Ibrahim agar salah satu dari keturunanya menjadi penyampai wahyu bagi umat akhir
zaman. Doa beliau terkabul. Rasulullah dilahirkan dan diutus pertama kali di
bumi Makkah, tempat Nabi Ismail mendirikan ka’bah bersama sang ayah.
Nabi Ibrahim juga mengajarkan agar bisa berdamai menghadapi musibah
dengan hati yang hani>f (lurus)
agar semakin sadar dan paham bahwa segala yang menimpa kita di muka bumi ini
telah ditulis dan ditentukan oleh Allah yang Maha Mengetahui. Semoga puasa
menjadi kita semua semakin hani>f
(lurus) dan muslim (berserah) pada
Allah sebagai bekal untuk menjadi insan-Nya yang bertakwa. Aamiin...
Comments
Post a Comment