Menjaga Kemanusiaan
Ina
Salma Febriany
Sebagai agama yang tidak hanya mengajarkan
ritual beribadah semata, Islam juga memperhatikan aspek-aspek penting yang
harus dilakukan oleh segenap pemeluknya— misalnya tata cara interaksi sosial
antar sesama manusia dan pentingnya menjalani pola hidup bersih sehat. Poin
pertama jelas, interaksi sesama manusia baik sesama agama maupun lintas agama
bertujuan menjalin tali kasih sayang (silah-arrahim/
silaturrahim) untuk menyatukan beragam perbedaan. Sedangkan poin kedua, Islam
betul-betul mengajarkan cara bersuci dengan benar baik ketika memiliki hadats
kecil maupun besar dan juga kewajiban berwudhu sebelum melaksanakan shalat. Oleh
karenanya, bab thaharah (bersuci)
menjadi bab inti dan sangat penting yang dibahas dalam beragam kitab fiqh.
Selain isyarat wudhu menjadi
satu-satunya diajarkan langsung dalam
al-Qur’an surah Al-Maaidah/7: 6, tatanan hidup bersih juga diajarkan oleh
Rasulullah Saw dalam beragam sabda beliau. Misalnya anjuran mencuci tangan
selepas bangun tidur dan mau makan, “Cucilah
tanganmu ketika bangun tidur, karena engkau tidak tahu kemana tangan itu ketika engkau terlelap,” (HR.
Bukhari) atau dalam hadits terkemuka lainnya, “Cucilah tanganmu sebelum makan, sebab itu mengandung keberkahan,”
(HR. Muslim) dan masih banyak lagi.
Tuntunan yang diberikan Rasulullah
Saw pada umatnya tentu bukan perkara sederhana. Mencuci tangan; meski terdengar
sepele dan mudah menjadi vital dan krusial mengingat tangan merupakan salah
satu anggota tubuh dari pusat aktivitas manusia. Sebab intensitas yang sering
digunakan itu, beragam jenis kuman, bakteri, virus tentu sangat mudah tumbuh
dan berkembang biak jika seseorang tidak rajin memerhatikan kebersihan dirinya
sendiri. Penyebaran penyakit yang dimulai dari tangan akhirnya bisa memunculkan
beragam penyakit bukan saja untuk diri sendiri melainkan bisa menularkan
sesama.
Kita bisa menyaksikan bahwa sejarah
mengukir dengan sangat apik beragam penyakit yang muncul jauh sebelum Corona Virus
Disease 2019 (CoVid19) bertebaran merajalela. Oman Fathurahman, Guru Besar
Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sejarah
mencatat dalam uraian singkatnya, dunia pernah mengalami tigakali pandemic (pandemi) akibat
wabah mematikan: pertama, Wabah Yustinianus (plague of Justinian) 541-542 M. Kedua, Maut Hitam (Black Death) yang terjadi 1347-1351 M. ketiga,
Wabah Bombay (Bombay plague) sekitar
tahun 1896-1897 M. selain itu, pandemic abad ke-6 terkait dengan kematian kurang
lebih 25 ribu sahabat Nabi.
Refensi
lain mencatat, ada lima penyakit mematikan yang terjadi melanda dunia. Pertama, Flu
Spanyol (1918-1919), 500 juta korban
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), flu Spanyol merupakan
pandemi penyakit influenza mematikan yang meluas dalam kurun waktu 1918 hingga
1919. CDC memperkirakan, sekitar 500 juta individu atau sepertiga dari populasi
dunia terinfeksi virus ini dan menyebabkan sedikitnya 50 juta kematian di
seluruh dunia.
Kedua, Cacar (10.000 SM-1979), 300
juta korban Dilansir dari National Geographic Indonesia, para ahli percaya
bahwa pandemi tertua ini telah mengurangi sebagian populasi dunia. Muncul sejak
300 tahun sebelum masehi, virus ini diperkirakan telah memakan lebih dari 300
juta korban jiwa.
Ketiga, Campak (abad 7 SM-1963), 200
juta orang Sebagaimana cacar, pandemi campak juga sudah dikenal di masa sebelum
masehi. National Geographic Indonesia menyebut campak sebagai salah satu
penyakit menular paling mematikan di dunia dengan korban jiwa mencapai 200 juta
orang di seluruh dunia.
Keempat, Black death (1340-1771), 75 juta
orang Memakan 75 juta korban di seluruh dunia, penyakit hitam atau yang lebih
populer disebut sebagai black death disebabkan oleh bakteri bernama Yersinia
Pestisini. Penyebarnya adalah kutu binatang-binatang pengerat, terutama tikus
atau marmut. Health.com menulis bahwa pandemi ini juga menyebabkan penyakit pes
yang mewabah di daratan Eropa, pada abad ke-14 dan mmebunuh 60% populasi.
Hingga kini, penyakit pes ini banyak ditemukan di pedesaan di wilayah Amerika
bagian barat, dan lebih umum ditemukan di Afrika dan Asia.
Kelima, AIDS (1981-sekarang), 25-40
juta Menjadi momok bagi komunitas global hingga saat ini, penyakit Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Penyakit ini menyerang sistem kekebalan tubuh penderitanya dan
membuatnya rentan terhadap segala virus dan bakteri. Gejala medis terlihat pada
penderita AIDS adalah infeksi pada organ paru-paru, yang selanjutnya dinamakan
Pneumonia pneumocystis (PCP).
Sumber-sumber
Arab mencatat dengan baik bagaimana Nabi Muhammad Saw dan para sahabat
menyikapi pandemic, bukan
dengan menantangnya atas nama Tauhid, atau atas nama “Kami tidak takut pandemic, kami hanya takut kepada Allah”, tetapi
justru dengan mengajarkan bahwa esensi agama adalah menjaga kemanusiaan. Itulah
tauhid yang sesungguhnya, tulis Oman.
Ketika
pemahaman beragama tidak dengan sadar, utuh dan matang, maka seseorang dengan
mudah membenturkan takdir dan timbulnya wabah itu sendiri. Begitupun dengan negara
kita tercinta ini. Wabah memang didatangkan dari Allah yang Maha Menetapkan,
namun tetap, manusia tidak boleh saling menyalahkan— bahkan lebih dari itu,
mereka harus berikhtiar sekuat tenaga untuk menghentikan penyebaran pandemic tersebut,
demi menjaga kemanusiaan. Itulah esensi beragama yang sebenarnya.
Tentu,
kita tidak ingin apa yang dialami Negara Eropa terjadi di Indonesia. Dimana Eropa
pernah kelam akibat sikap fanatik sebagian umat beragama dalam menyikapi the Black Death. Saat
otoritas Eropa kehabisan ide atasi wabah yang semakin hari kian meluas, masyarakat
menjadi putus asa, dan mulai mengaitkan bahwa umat Yahudi adalah penyebabnya
hingga Tuhan murka. Konflik pun terjadi dan tidak bisa dibendung lagi, akhirnya
ribuan Yahudi dipersekusi.
Menarik
apa yang ditulis oleh profesor sosiologi di Rice University, Amerika Serikat,
yang juga merupakan seorang penulis buku The Humanity of Muhammad: A Christian View dan Islam in America: Exploring the Issues,
Craig Considine, baru-baru ini menulis sebuah opini di Newsweek yang berjudul Can The Power of Prayer Alone Stop A Pandemic
Like The Coronavirus? Even the Prophet Muhammad Thought Otherwise.
Considine
Craig, seorang Kristiani yang sangat mengagumkan sisi-sisi manusia dan kenabian
Rasulullah Saw dalam menghadapi wabah pada zaman beliau tertarik untuk berjihad
melalui tulisan untuk rakyat Amerika (juga tentunya kita semua rakyat
Indonesia) bahwa bukan hanya do’a dan
berpasrah yang bisa dilakukan dalam mengatasi pandemic ini—namun juga harus
ikhtiar (fisik dan ruhani) demi
menghentikan penyebaran virus ini.
Di
awal artikelnya, Craig Considine mengutip pendapat dua ahli, yaitu ahli
imunologi Dr. Anthony Fauci dan wartawan medis Dr. Sanjay Gupta, yang mengatakan
bahwa kebersihan dan karantina yang baik, atau praktik isolasi dari orang lain,
dengan harapan mencegah penyebaran penyakit menular, adalah alat yang paling
efektif untuk membendung persebaran Covid-19.
Namun
akhirnya, Craig menyadari bahwa resep dua ahli di atas bukanlah hal baru dan
orisinal. Tips-tips yang diberikan para ahli telah lebih dulu disampaikan oleh
Rasulullah ratusan ribu tahun yang lalu. Salah satunya? Tentu dengan lebih
rajin mencuci tangan seperti yang telah tertulis di atas. Craig Considine
mengutip sabda Nabi yang berbunyi, “Jika
engkau mendengar wabah penyakit di suatu negeri, jangan memasukinya; tetapi
jika wabah itu menyebar di suatu tempat saat engkau berada di dalamnya, jangan
tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari). Masya
Allah!
Pandangan
Craig tentang esensi doa yang penting
namun akan berefek setelah manusia juga berikhtiar menjaga kesehatan dan
kebersihan diri, dikuatkan pula oleh pemikiran Oman Fathurrahman. Lebih lanjut,
ia menulis bahwa sebagian sarjana besar Muslim abad pertengahan juga pernah
mengalami wabah atau thaun yang
mematikan. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 1449 M), intelektual muslim terkemuka
yang sudah menulis puluhan kitab turut berduka karena ia kehilangan tiga
putrinya akibat thaun: Fatimah,
Aliyah, dan Zin Khatun si sulung yang bahkan sedang hamil. Apa yang dia
lakukan? Menulis karya untuk menjaga nyawa sesama. Allahu Akbar! Al-Asqalani menulis kitab “Badzl al-Maun fi Fadhl al-Thaun”. Dia
jauh dari sikap “pasrah”, menyerah kepada takdir Allah. Pandangan dan sikap
beragamanya rasional.
Karya
Al-Atsqalani telah di-tahqiq oleh
Ahmad Ishom Abd al-Qadir al-Katib, yang mengulas dengan detail tentang thaun: definisinya secara
metafisis dan medis, jenis-jenisnya termasuk Black Death di Eropa, pandangan ahli medis, cara
menghindarinya, hukum syahid bagi korban, dan tentang bagaimana Muslim harus
menyikapi wabah.
Al-Asqalani
bukan satu-satunya ulama besar yang terdampak thaun pandemic. Abu Aswad al-Duwali (w. 688 M),
penggagas ilmu nahwu terkemuka,
penemu titik dalam huruf hijaiyah, bahkan wafat akibat thaun. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Fenomena
di atas terebut adalah bukti bahwa wabah pandemic tidak mengenal agama, ras, usia, gender,
dan kelas sosial. Kita pun perlu bersama melawan Corona. Saat ini, pemerintah
sudah memutuskan bahwa Indonesia darurat bencana akibat Corona. Social distancing sudah
diterjemahkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai “Bekerja dari rumah, belajar
dari rumah, dan bekerja di rumah”. Berbagai tokoh agama sudah berijtihad
menunda ritual agama, tapi bukan menunda beragama. Sejumlah aktivitas ritual
pengumpulan massa baik di rumah ibadah maupun tempat sosial lainnya sementara
waktu dihentikan—namun bukan berarti menghilangkan esensi kekhusyu’an beribadah
kita. Inilah saatnya kita berjihad menyelamatkan nyawa manusia dengan tetap berdiam di rumah; guna menekan
penyebaran virus corona ini.
Mari
belajar dari sejarah, mari berguru dari para suhu masa lalu. Beragama yang
paripurna bukan dengan cara mengabaikan keselamatan sesama, melainkan dengan
menjaganya melalui berbagai cara; semampu kita. Dengan demikian esensi beragama
bukan hanya symbol dan ritual semata; namun melampaui itu semua! Esensi bertauhid
dan beragama ialah dengan menjaga keselamatan manusia. Wallahu a’lam.
Comments
Post a Comment